Pernah tak kita rasa hairan — kenapa ada orang yang hidupnya serba lengkap, tapi tetap gelisah? Dan ada pula orang yang hidupnya sederhana, tapi wajahnya selalu tenang dan senyumannya tak pernah hilang. Di situ kita belajar satu hakikat yang penting dalam hidup: banyak tak semestinya cukup.
Manusia sering mengejar lebih tanpa berhenti sejenak untuk menilai apa yang sudah ada. Kita berlari mencari harta, pujian, dan kejayaan, seolah-olah “banyak” itu kunci kepada kebahagiaan. Tapi bila sudah dapat, hati masih rasa kosong. Kita beli kesenangan, tapi tak dapat ketenangan. Kita kumpul harta, tapi tak rasa kaya di dalam jiwa. Itu tandanya, hati belum menemui rasa “cukup”.
🌿 “Yang banyak hanya memuaskan mata.
Yang cukup menenangkan jiwa.”
Allah tidak pernah larang kita untuk berusaha atau mencari rezeki, malah Dia suka hamba-Nya yang rajin. Tapi dalam usaha itu, jangan sampai lupa bahawa keberkatan lebih berharga daripada banyaknya rezeki. Sebab yang banyak belum tentu berkat, tapi yang berkat — walau sedikit — boleh mencukupkan segala.
Lihat saja sekeliling. Ada keluarga kecil yang hidup sederhana, tapi bahagia dengan makanan yang sekadar cukup di meja. Ada pula yang mewah, tapi setiap makan malam dipenuhi pertikaian. Bezanya bukan pada jumlah, tapi pada keberkatan dan syukur. Bila hati bersyukur, sedikit pun terasa manis. Tapi bila hati tamak, banyak pun terasa kurang.
Kita hidup dalam zaman yang membuat kita mudah lupa nilai sebenar kecukupan. Semuanya diukur dengan “lebih” — lebih kaya, lebih laju, lebih popular. Tapi hakikatnya, bahagia itu bukan pada lebihnya sesuatu, tapi pada cukupnya hati menerima apa yang ada. Cukup itu bukan tanda malas — tapi tanda redha dengan takdir Allah.
Jadi, bila rasa hidup tak cukup, jangan terus kejar yang banyak. Cuba berhenti sejenak. Lihat sekeliling. Lihat apa yang Allah masih beri — nafas, keluarga, masa, iman. Di situlah letaknya “cukup” yang sebenar.
🌾 Kerana banyak tak semestinya cukup, tapi bila hati cukup — segalanya jadi banyak.

